Friday, April 22, 2011

Macan Ali Simbol Perjuangan Orang Cirebon


“Apa arti macan putih bagi orang Cirebon? Sepertinya saya melihat begitu banyak patung serupa di sini.” Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh seorang teman asal kota gudeg Yogyakarta. Sebagai orang Cirebon sekaligus tuan rumah dari teman saya tersebut, saya menjawab: “Oh itu Macan Ali, Lambangnya Keraton Cirebon.”

Hanya itulah  jawaban yang bisa saya berikan saat itu. Teman saya hanya mengangguk pelan dan pembicaraan kami pun berganti ke tema lain. Tapi bagi saya pertanyaan tersebut tetap harus dijawab. Pencarian  jawaban saya mulai dari Keraton Kasepuhan, sebagai keraton tertua di Cirebon. Di sana saya temukan sebuah lukisan kaligrafi Arab berbentuk seekor macan. “Ini adalah Singha Barwang atau biasa disebut Macan Ali, lukisan kaligrafi berbentuk macan yang menjadi lambang kebesaran Kerajaan atau Kasultanan Cirebon.” Jelas Pak Satu, seorang abdi dalem di Keraton Kasepuhan yang menemaniku berkeliling di kompleks keraton. Menurut Pak Satu, Kaligrafi bertuliskan kalimat syahadat itu merujuk kepada kepahlawanan Sayidina Ali dalam memperjuangkan agama Islam.

Dalam literatur lain juga dikemukakan bahwa sebelum Cirebon, ada beberapa negara lain yang juga menggunakan Macan Ali sebagai lambang kebesaran negaranya. Seperti kerajaan Indraprahasta, Wanagiri dan Singhapura. Dijadikannya Macan Ali sebagai lambang kebesaran Kesultanan Cirebon juga untuk membuktikan tekad dan eksistensi Cirebon dalam menyiarkan Agama Islam di Bumi Nusantara.


Bendera Macan Ali juga pernah berkibar, mengiringi keperkasaan Pasukan Kesultanan Cirebon dalam beberapa perang besar melawan penjajahan. Seperti perang melawan Tentara Portugis (1512-1526) yang diprakarsai oleh Kesultanan Demak di bawah pimpinan Raden Patah. Dalam perang tersebut bala tentara Cirebon turut bertempur bersama bala tentara Demak dalam melawan Portugis. Bendera Macan Ali juga pernah berkibar dalam perang Kedongdong (1793-1808), yaitu perang yang dipicu oleh pemberontakkan para santri Melawan tentara Belanda yang diperkuat oleh bala tentara Portugis.

Menurut kisah, kebesaran dan keberanian pasukan Cirebon saat itu, dipengaruhi juga oleh kharisma Bendera Macan Ali yang juga dijadikan sebagai panji perang Kasultanan Cirebon. Karena dalam Bendera Macan Ali Banyak terkandung nilai-nilai filosofis, seperti:
1.      Tulisan Basmallah dan Asmaul Husna yang melambangkan kebesaran Allah.
2.      Dua bintang bersisi delapan yang melambangkan Nabi Muhammad dan Fatimah.
3.      Singa Kecil dan besar serta dua buah pedang yang menyilang,  melambangkan Pedang        Zulfikar milik  Imam Ali.
4.      Asadullah, yaitu Singa besar atau singa Allah yang disebut  sebagai Macan Ali
5.      Lima orang manusia suci yang melambangkan tiang agama sebagai sumber hidayah.

Saat ini, walaupun kasultanan/keraton-keraton di Cirebon sudah tidak lagi berada dalam masa keemasannya, Macan Ali masih menjadi lambang kebesaran yang sangat dihargai oleh masyarakatnya. Keberadaan Macan Ali sebagai simbol pun belakangan ini semakin dikenal orang, dengan semakin maraknya kaligrafi Macan Ali bermunculan di beberapa media, seperti sticker, kalender maupun kaos. Semoga dengan bangkitnya kembali Macan Ali sebagai simbol masyarakat Cirebon, dapat menghantarkan kembali Cirebon ke masa kejayaannya seperti dulu.(ysg)

Thursday, April 21, 2011

Pedati Gede Pekalangan



 
Bau harum cendana menyerebak begitu Ibu Taryi (55) Juru Kunci Pedati Gede membuka pintu bangunan seluas 300 m2. Bangunan tersebutlah yang selama ini menjadi “garasi” bagi Pedati Gede Pekalangan yang diberi julukan Ki Gede Pedati. Menurutnya bau harum tersebut berasal dari Pedati Gede, yang berbahan dasar kayu cendana dan kayu jati.

Pedati yang di buat pada masa Pangeran Cakrabuwana ini (1371) memiliki ukuran yang cukup besar. Panjang totalnya mencapai 8,6 m dengan tinggi 3,5 m dan lebar 2,6 m. pedati raksasa ini memiliki enam roda besar dengan berdiameter 2 m dengan panjang jari-jari 90 Cm. ditambah lagi dengan dua buah roda kecil dengan diameter berukuran 1,5 m dan panjang jari-jari 70 Cm.

Dalam catatan TD Sudjana, seorang pemerhati Sejarah Cirebon, disebutkan bahwa Pedati Gede sudah menggunakan teknologi yang terbilang maju pada jamannya. Dimana rangkaian pedati dibuat dengan menggunakan sistem bongkar pasang (knock down). Sehingga ukurannya bisa disesuaikan sesuai kebutuhan. Bahkan pedati ini dapat memiliki rangkaian panjang seperti kereta api.

Roda-roda pedati ini terbuat dari kayu yang dihubungkan dengan as berdiameter 15 Cm yang juga terbuat dari kayu. Dimana as-as tersebut dihubungkan dengan poros yang terdapat di masing-masing rodanya. Untuk menghindari gesekan as dengan poros roda saat berjalan, pedati ini menggunakan pelumas yang terbuat dari getah pohon damar. Sehingga roda-roda pedati bisa berputar dengan normal dan lancar. Pedati Gede ditarik oleh kebo bule (kerbau berwarna merah muda), karena kerbau jenis ini diyakini memiliki  kekuatan yang lebih besar dibanding denan kerbau biasanya.

Namun ada yang aneh dari posisi roda tersebut, yang letaknya saling menempel satu sama lain. Jika dipikir secara logika posisi roda tersebut akan saling bergesekan saat berjalan, yang dapat mengakibatkan pedati tersebut sulit digerakkan. Menurut Ibu Taryi, itulah keistimewaan Pedati Gede yang tidak dimiliki oleh kendaraan lain, sekalipun kendaraan modern yang ada saat ini. “Bahkan banyak yang meyakini Pedati Gede tidak berjalan di atas tanah alias dapat terbang” Tutur wanita yang memperoleh jabatan Juru Kunci Pedati Gede secara turun temurun ini.

Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Raja pertama Cirebon ((1478-1568)), peran Pedati Gede masih sangat besar, seperti pada saat pembangunan Istana Pakungwati dan Masjid Sang Cipta Rasa, pedati ini berfungsi sebagai sarana untuk mengangkut bahan-bahan bangunan. Sedangkan pada masa pemerintahan Panembahan Ratu I (1526-1649), penggunaan pedati sebagai sarana transportasi mulai marak digunakan oleh masyarakat secara luas. Dimana konstruksi  pedati gede dijadikan acuan oleh masyarakat dalam membuat pedati. Sehingga diyakini, pedati-pedati yang ada di pulau Jawa saat ini, konstruksinya mengacu ke model Pedati Gede.

Saat ini Pedati Gede menjalani istirahat panjangnya di tengah-tengah pemukiman padat di Gang Pedati Gede Kelurahan Pekalangan Kecamatan Pekalipan Cirebon. Untuk melihat Pedati Gede kita harus menyelusuri jalanan sempit di pemukiman tersebut. Keberadaan Pedati Gede disana sudah cukup menyatu dengan kehidupan masyarakat sekitarnya. Bahkan masyarakat tidak rela jika pedati tersebut dipindahkan ketempat lain. Saat ini kondisi Pedati Gede masih terbilang cukup kokoh walaupun sudah dimakan usia. Kebakaran yang pernah melanda pemukiman Pekalangan pada tahun 1931, membuat sebagian kayu Pedati Gede terbakar dan tidak bisa dirangkai lagi. Kayu-kayu yang terbakar tersebut di simpan secara rapi di “garasi” Pedati Gede, tepat di sisi sebelah kanan pedati tersebut.

Untuk mensosialisasikan keberadaan Pedati Gede sebagai salah satu warisan budaya, saat ini replika Pedati Gede sering ditampilkan dalam Pegelaran Festival Keraton Nusantara. Dalam festifal tersebut kita akan melihat kembali keperkasaan Pedati Gede menyelusuri jalanan dengan ditarik oleh seekor kebo bule. (ysg)

Monday, April 18, 2011

Tahu Gejrot, Kuliner Lezat Khas Cirebon


 
 
“Huuu jrot!!!... Huuu jrot!!!” begitulah teriakan nyaring penjaja keliling tahu gejrot, yang biasa lewat di depan rumahku setiap siang atau sore hari.

Tahu gejrot adalah salah satu kuliner khas Cirebon yang sudah cukup populer. Tahu gejrot kebanyakan dijajakan secara berkeliling. Jika pedagangnya adalah pria biasanya menggunakan pikulan yang terdiri dari 2 wadah besar yang terbuat dari anyaman bambu, berbeda jika pedagangnya adalah perempuan, biasanya hanya membawa satu keranjang kecil yang dilapisi oleh plastik hitam yang dibawa berkeliling di atas kepala.

Tahu gejrot adalah salah satu kuliner andalan Cirebon. Rasanya yang lezat selalu mengundang selera kapanpun kita menyantapnya. Tahu gejrot menggunakan tahu coklat khas Cirebon, yang bentuknya hampir mirip dengan tahu Sumedang yang bagian dalamnya berongga. Cara penyajiannya pun cukup unik. Pertama cabai rawit dan bawang merah akan digerus kasar dalam piring yang terbuat dari tanah liat sebagai cobeknya menggunakan ulegan yang terbuat dari kayu. Kemudian gerusan cabai rawit dan bawang merah tersebut, disiram dengan kuah tahu gejrot yang terbuat dari campuran kecap, air asam dan gula merah. Setelah itu tahu dipotong-potong dan diletakkan ke dalam piring lain yang juga terbuat dari tanah liat. 

Setelah tahu siap, kuah tahu gejrot yang telah tercampur dengan gerusan cabai rawit dan bawang merah tadi disiramkan ke atas potongan tahu. Kemudian di salah satu potongan tahu tersebut, ditusukan sebuah tusuk bambu kecil yang berbentuk seperti tusuk gigi, sebagai alat untuk memakannya. Dengan cara penyajian seperti itu, membuat tampilan seporsi tahu gejrot semakin tampak segar di mata dan sangat menggugah selera makan kita.

Rasa kuahnya yang sedap akan terserap ke dalam potongan-potongan tahu, sehingga saat kita memasukkan tahu ke dalam mulut kita dan menggigitnya, kuahnya akan terasa kembali keluar dari dalam tahu dan memberikan sensasi rasa yang luar biasa. Rasanya yang lezat dan porsinya yang tidak mengenyangkan perut, membuat banyak orang menjadi ketagihan dan memburunya sebagai camilan.

Sampai saat ini pedagang tahu gejrot masih cukup mudah dijumpai di seluruh Cirebon, baik kota dan kabupaten. Di manapun tahu gejrot dijajakan, baik secara berkeliling, di food court maupun resto yang terdapat di hotel-hotel. Tampilannya tetap sama, yaitu menggunakan piring tanah liat dan tusuk bambu. Banyak juga yang bilang penyajian menggunakan piring tanah liat dapat menambah lezat rasa tahu gejrot. Harga seporsinya pun cukup murah, di Cirebon sendiri seporsi tahu gejrot hanya seharga Rp 3.000,00 saja. Cukup murah bukan? (ysg)


Legenda Pasukan Macan Penjaga Istana Pakungwati


Barusan saya kedatangan teman lama sewaktu di sekolah dasar dahulu. Sambil minum kopi kami pun bercerita tentang kenangan masa lalu. Salah satunya adalah cerita tentang seekor macan, yang berkeliaran di pemukiman-pemukiman penduduk saat malam tiba. Ada warga yang melihatnya langsung dan ada juga yang hanya menemukan jejaknya di pagi hari.

Pernah suatu waktu masyarakat mengejar dan mengepung seeokor macan yang masuk ke pemukiman, saat warga kehilangan macan tersebut, mereka hanya menemukan jejak-jejak kaki macan, namun ketika diikuti jejak tersebut berubah menjadi jejak kaki manusia.

Menurut cerita para orang tua, warga Cirebon kerap mengkaitkan cerita-cerita tersebut dengan legenda Pasukan Macan, yaitu pasukan yang di berikan oleh Prabu Siliwangi Raja Pajajaran kepada Cucunya Sunan Gunung Jati sebagai hadiah. Pasukan yang terdiri dari 12 orang tersebut berfungsi sebagai pasukan pengaman (semacam Paspampres saat ini). mereka ditugaskan untuk menjaga Istana Pakungwati (keraton Kasepuhan).

Sistem penjagaannya pun dibagi menjadi beberapa lingkaran/rink. Dalam istilah penjagaan Pasukan Macan disebut KW (tidak ada literature yang menjelaskan mengenai arti KW). Dimana masing-masing KW diisi oleh empat personil pasukan dengan posisi sesuai arah mata angin. Dengan Istana Pakungwati sebagai titik pusat pengamanannnya, karena itu semakin dekat dengan Istana semakin tinggi ilmu Pasukan Macan yang ditugaskan di KW tersebut.   

Pasukan Macan menggunakan seragam yang unik. Yaitu berupa kantung seukuran ibu jari yang disebut kantung macan. Cara memakainya adalah dengan memasukan kedua ibu jari ke kantung tersebut, kemudian dengan sendirinya kantong tersebut akan mengembang secara elastis mengikuti bentuk tubuh, hingga mirip seekor macan. Kantung macan harus dipakai pada suasana hening dengan sedikit penerangan. Pakaian tersebut memiliki kekuatan spiritual yang kadarnya tergantung pada kekuatan si pemakainya. Semakin sempurna ilmu yang dimiliki semakin sempurna pula bentuk pakaian macan tersebut. Konon tingkat tertinggi akan berwujud seperti macan sungguhan.

Saat ini diyakini masih terdapat Pasukan Macan yang setia menjaga Istana Pakungwati, namun jumlahnya tidak sebanyak dulu lagi. Berkurangnya jumlah personil Pasukan Macan ini dikarenakan beberapa sebab, seperti Personil Pasukan Macan meninggal saat menggunakan pakaian kantung macan, sehingga pakaian kantung macan turut sirna bersama meninggalnya orang tersebut. Kedua, berhentinya keturunan personil Pasukan Macan, karena  keberadaan pasukan ini diteruskan secara turun temurun. Penyebab  ketiga, menurut cerita warga, Kesultanan Kasupuhan pernah memberikan 1 KW (empat orang) Pasukan Macan kepada Kesultanan Brunai sebagai hadiah. (ysg)
 .
*) Informasi tulisan ditambahkan juga dari berbagai sumber

Saturday, April 16, 2011

Cirebon, Kota Seribu Gapura


Memasuki Istana Pakung Wati – Keraton Kasepuhan Cirebon, kita akan melihat sepasang gapura berwarna merah bata yang berdiri kokoh di pelataran depan keraton tersebut.

Gapura tersebut terbuat dari teracota atau sejenis batu bata kuno yang banyak digunakan sebagai bahan bangunan keraton saat itu. Gapura Keraton Kasepuhan adalah gapura bergaya bentar yang sangat khas pada zaman Majapahit. Gaya Majapahit sangat kental pada Keraton Kasepuhan, karena keraton tersebut paska perang Demak-Majapahit (1529) di rombak semirip mungkin dengan istana Majapahit, yaitu istana Trowulan. Arsitek dan kuli-kuli bangunannya pun sebagian besar berasal dari Majapahit, yang dibawa dari Demak sebagai tawanan perang, sebagai balas jasa karena Cirebon turut membantu Demak memenangkan pertempuran tersebut. 

Karena keunikan gapura tersebutlah, pemerintah Cirebon menjadikannya sebagai ciri khas (landmark) Cirebon. Pada tahun 1997 diwajibkan bagi setiap kantor instansi pemerintah dan swasta-swasta tertentu untuk membangun gapura sebagai pintu gerbangnya. Kebijakan ini mendapat dukungan yang luas dari masyarakat, sehingga bukan hanya perkantoran saja yang membangun gapura, tetapi pemukiman-pemukiman penduduk juga turut dihiasi megahnya gapura bergaya bentar ini. Keberadaan gapura-gapura bergaya  bentar yang memenuhi pemandangan di Cirebon, mengantarkan kita pada suasana klasik yang menggambarkan kejayaan Keraton Kasepuhan pada masa lalu. (ysg)