Sunday, September 11, 2011

Membangkitkan Kembali Tari Bedaya Kajongan dari Tidur Panjang


                                                                                  Foto: Pikiran Rakyat Online
“Di Keraton Kanoman akan digelar pentas tari Kajongan besok malam” begitulah bunyi pesan singkat yang aku terima pada tanggal 9 September 2011 dari Masham, seorang teman yang juga seorang fotografer yang aktif sebagai Citizen Journalist. Dalam benakku langsung terlintas dukuh Kajongan yang terletak di Purbalingga Jawa tengah. Ternyata dugaanku itu salah, Kajongan adalah salah satu tarian Cirebon yang hampir punah. Pantas saja banyak orang yang tidak mengetahuinya, termasuk orang Cirebon sendiri. Karena tarian ini terakhir di pentaskan pada tahun 1948, itu pun khusus digelar di depan keluarga keraton saja.

Tari Bedaya Kajongan adalah tarian yang diciptakan pada masa Sultan Kanoman VIII, yaitu Sultan Raja Dzoelkarnaen yang memimpin sekitar abad ke -17. Tari kajongan mengutarakan tentang filosofi perang yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral, etika sosial serta sejarah yang sarat dengan falsafah kehidupan. Tarian ini dibawakan oleh penari wanita yang selalu berjumlah genap (biasanya dua orang penari) yang menari dengan membawa senjata jenis gada sebagai simbol perang. Namun karena tari ini hanya boleh ditonton oleh keluarga keraton, dimana para penarinya juga masih keluarga keraton yang dilarang menurunkan ilmunya di luar garis keluarga keraton, maka lambat laun Tari Bedaya Kajongan semakin terlupakan dan berada di ambang kepunahan.

Melihat kondisi tersebut, keraton kanoman berupaya membangkitkan kembali Tari Kajongan dari tidur panjangnya. Pada tahun 2009 Sultan Kanmoman XII, Sultan Raja Mochamad Emirudin menitahkan kepada Pangeran Raja Kodiran dan Ratu Raja Arimbi Nurtina untuk merumuskan gagasan revitalisasi seni dan melakukan penelusuran Tari Bedaya Kajongan. Maka sejak tahun 2009 dimulailah “penggalian”  kembali Tari Bedaya Kajongan, dengannkajian bersama antara penari dan para penabuh gamelannya, hingga dapat ditelusuri kembali koreografi tarian, musik dan desain busananya.

Berbekal dari perumusan tersebutlah, maka dimulailah latihan rutin Tari Bedaya Kajongan, yang ditarikan oleh dua orang penarinya yaitu, Ratu Min dan Raden Anah yang sudah sekitar 20 tahun berhenti dari dunia seni tari. Hingga pada hari Sabtu, 10 September 2011 Tari Bedaya kajongan kembali di pentaskan di Bangsal Jinem Keraton Kanoman pada pukul 20:00. Kali ini tidak hanya di pentaskan di depan keluarga keraton kanoman saja, tapi di saksikan pula oleh  perwakilan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, sekitar 50 undangan  negara sahabat, seniman, agamawan, dan perwakilan media massa.

Semoga pementasan Tari Bedaya Kajongan tersebut menjadi awal kebangkitan kesenian Cirebon lainnya yang sampai saat ini masih berada di ambang kepunahan, seperti Rimbe, Gododan, Golekan, Kembang, Perang Keris, Tumenggung, dan Rahwana Gandrung (ysg)



Thursday, September 8, 2011

Orang-orang Keling Penjaga Makam Sunan Gunung Jati


                                                                                                          Foto : Istimewa
Para penjaga atau kuncen (juru kunci) pada makam Sunan Gunung Jati ternyata menyimpan sejarah yang menarik untuk disimak. Para kuncen yang keseluruhannya berjumlah 108 orang itu ternyata masih berada dalam satu garis keturunan. Perhatikan saja wajah-wajah mereka, dimana ada kesamaan bentuk wajah oval dengan mata cekung ke dalam dan hidung mancung, serta kulit gelap. Sebagian besar bekel juga berambut keriting atau sekadar bergelombang.karena kata “keling” dalam bahasa Cirebon sering mengacu pada warna kulit yang hitam atau coklat mengkilat.
Mereka adalah orang-orang keturunan Adipati Kelingga, yang berasal dari sebuah daerah dekat Kediri Jawa Timur pada masa Kerajaan Majapahit dulu. Karena itulah para kuncen tersebut dikenal juga dengan sebutan orang Keling. Adipati Keling dan rombongannya datang ke Cirebon  dengan membawa rasa sakit hati, yang tidak diketahui terhadap siapa dan karena alasan apa. Kemudian  Adipati Keling bertemu dengan Sunan Gunung Jati dan menjadi orang kepercayaan sang sunan dengan gelar Adipati Pangeran Suranenggala.
                                                                             Foto : Istimewa
Sebagai rasa terima kasih sang adipati kepada Sunan Gunung Jati, ia pun bersumpah akan membaktikan dirinya hingga tujuh turunan kepada Sunan Gunung Jati. Walaupun saat ini orang keling sudah sampai ke generasi ke lima belas, namun mereka masih membaktikan dirinya terhadap Sunan Gunung Jati dengan menjaga dan merawat makam sunan tanpa di gaji, di mana untuk kehidupan sehari-hari mereka hanya menggantungkan hidup dari sedekah yang diberikan oleh para peziarah secara sukarela. Mereka terbagi dalam 9 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 12 orang berjaga-jaga secara bergiliran selama 15 hari yang diketuai oleh seorang Bekel Sepuh dan Bekel Anom (mewakili Keraton Kasepuhan dan Kanoman) yang dipimpin oleh seorang Jeneng yang diangkat oleh Sultan..  Saat ini mereka yang mengemban tugas tersebut umumnya karena meneruskan tugas dari ayah atau saudara yang tidak mempunyai anak atau bisa juga karena mendapat kepercayaan dari yang berhak. Ada serangkaian ritual yang harus dilaksanankan pada saat pertama kali mereka diberi amanat mengemban tugas. (ysg)

Merayakan Kembali Kemenangan dengan Grebeg Syawal

                                                                                                         Foto : Istimewa
Setelah merayakan kemenangan pada hari raya Idul Fitri, umat Muslim kembali disunahkan untuk berpuasa selama 6 hari di awal Bulan Syawal. Pada hari ke tujuh atau tanggal 7 Syawal, umat muslim khususnya di Cirebon merayakannya sebagai lebaran ke dua.

Ada berbagai macam kegiatan keagamaan dan adat yang dilakukan oleh umat muslim dalam merayakan lebaran ke dua, yang disebut juga dengan Lebaran Syawal atau Syawalan. Ada yang merayakannya sebagai ajang silahturahmi antar warga. Sebagaimana yang digelar oleh jamaah Mushola Al Akbar, Kampung Karang Pura Kelurahan Sukapura Kota Cirebon, yang menggelar acara tahlilan sekaligus silahturahmi  warga di sekitarnya. 

Adapula yang menggelar arak-arakan seperti yang dilakukan oleh warga Desa Trusmi. Warga kampung batik tersebut setiap Lebaran Syawal tiba selalu menggelar arak-arakan dengan berjalan kaki menuju makam Sunan Gunung Jati. Arak-arakan tersebut ditujukan sebagai penghormatan terhadap perjuangan leluhur mereka dalam menyebarkan agama Islam. Selain arak-arakan, sebagai penghormatan terhadap leluhur, mereka juga membangun sebuah cungkup di situs Makam Sunan Gunung Jati, yang disebut sebagai Cungkup Trusmi. Cungkup tersebut digunakan juga sebagai tempat beristirahat untuk masyarakat Trusmi yang berjiarah ke sana.

                                                                                                           Foto : Istimewa
Selain masyarakat Trusmi, pada lebaran Syawal situs Makam Sunan Gunung Jati juga ramai dikunjungi oleh masyarakat, baik dari daerah Cirebon dan sekitarnya maupun dari luar kota bahkan luar propinsi, yang jumlahnya bisa mencapai ribuan pengunjung. 

Pada umumnya masyarakat berlomba-lomba mendekati pintu pasujudan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lawang Gedhe, yaitu sebuah pintu gerbang menuju Makam Sunan Gunung Jati, yang hanya dibuka pada saat-saat tertentu saja dan hanya sultan berserta keluarga dan keraabat dekatnya saja yang boleh masuk. Sudah menjadi tradisi pada setiap syawalan Sultan Keraton Kanoman dan para kerabatnya berjiarah ke makam Sunan Gunung Jati dan makam para sesepuh Keraton Kanoman, dengan memasuki Lawang Gedhe. Sebagaimana pada acara Syawalan yang digelar kemarin (8/9) Sultan Raja Muhammad Emirudin berserta keluarga dan kerabat Keraton Kanoman memasuki kompleks Makam Sunan Gunung Jati. Dalam acara ritual tersebut, selain berdoa untuk para sesepuh yang sudah meninggal, mereka juga memanjatkan puji syukur atas segala karunia yang telah diberikan oleh Tuhan kepada mereka dan masyarakat Cirebon.

                                                                             Foto : Istimewa
Hal yang sama juga dilakukan oleh para peziarah lainnya, namun selain berziarah juga banyak diantara mereka juga datang untuk mendapatkan berkah dari sang sultan. Karena itu jumlah peziarah yang mendekati Lawang Gedhe akan semakin padat seiring dengan kedatangan Sultan Kanoman. Mereka berdesak-desakan dan saling berebut makanan dan sedakah yang ditebarkan oleh sang sultan usai berziarah. “Sultan itu orang penting dan turunan langsung dari Sunan Gunung Jati, kebaikan yang ditebarkannya pastilah mendatangi berkah” Jelas Asep Wahyudin, peziarah asal Trusmi Kabupaten Cirebon yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang di Jakarta.

Tidak semua orang yang mengunjungi Situs Makam Sunan Gunung Jati pada Lebaran Syawal, bertujuan untuk berziarah. Ada pula yang sengaja datang pagi-pagi untuk memperoleh rezeki di sana. Salah satunya adalah Bang Ucok, warga Klayan Kabupaten Cirebon tersebut sengaja datang lebih awal untuk mendapatkan lapak guna berjualan sandal. “Walaupun lebaran sudah lewat, saya yakin dengan ramainya pengunjung, sandal dagangan saya dapat ludes terjual. Apalagi banyak pengunjung yang datang dari pelosok daerah” ujarnya optimis. Selain bang Ucok juga terdapat  pedagang-pedagang lain yang mengharap cipratan rejeki dari acara Syawalan tersebut. Seperti Deden misalnya, pria asal Majalengka ini sangat optimis dompet dan sabuk kulit dagangannya bakal ludes terjual hari ini. “Kantong para pengunjung masih tebel karena masih bau-bau lebaran, Insya Allah dagangan saya bakal banyak terjual hari ini.” Tuturnya dengan semangat.

Bukan hanya para pedagang saja berebut rejeki. Anak-anak dari daerah sekitar pun banyak yang berprofesi sebagai pengemis cilik dadakan, dengan penuh semangat dan ceria mereka secara bergerombol mendekati pengunjung untuk meminta-minta uang recehan. Bagi anak-anak, kegiatan mereka ini hanyalah sebuah permainan untuk mengisi waktu luang yang menghasilkan. Banyak pengunjung yang menebarkan uang recehan kepada mereka sebagai sedekah, namun tidak sedikit pula yang merasa risih dengan ulah mereka. (ysg)

3 Wajah Makam Sunan Gunung Jati

                                                                                                           Foto : Istimewa
Jejak perkawinan budaya pada sejarah Cirebon masih tampak terlihat pada bangunan Makam Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa. Pada Makam Sunan Gunung Jati dapat kita lihat perpaduan 3 budaya, yaitu Jawa Arab dan China. Di mana arsitektur Jawa dapat jelas terlihat pada bentuk gapura  pintu masuk utama dan pada pada bentuk bangunan yang menyerupai bangunan Joglo dengan atap limasan.
                                                                                Foto : Istimewa
Arsitektur jawa juga kental terlihat pada dua buah ruangan yang disebut dengan Balaimangu Majapahit dan Balaimangu Padjadjaran. Balaimangu Majapahit merupakan bangunan yang dibuat oleh Kerajaan Majapahit (referensi lain menyebutnya dari Dermak) sebagai hadiah pernikahan Sunan Gunung Jati yang menikahi Nyi Mas Tepasari, putri dari salah seorang pembesar Majapahit yang bernama Ki Ageng Tepasan. Sedangkan Balaimangu Padjadjaran merupakan bangunan yang dibuat oleh Prabu Siliwangi sebagai hadiah penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Kesultanan Pakungwati (kesultanan sebagai cikal bakal berdirinya Kesultanan Cirebon).
                                                                              Foto : Istimewa
Sedangkan budaya arab dapat jelas terlihat dari arsitektur bergaya Timur Tengah yang terletak pada hiasan kaligrafi yang terukir indah pada dinding dan bangunan makam di sana. Konon di sekitar Makam Sunan Gunung Jati terdapat pasir Malela yang dibawa langsung dari Mekkah oleh Pangeran Cakrabuana. Pasir ini tidak diperbolehkan dibawa keluar dari kompleks pemakaman. Para Juru Kunci sendiri diharuskan membersihkan kaki-nya sebelum dan sesudah dari makam agar tidak ada pasir yang terbawa keluar.
                                                                              Foto : Istimewa
Dan yang tidak kalah menarik adalah sentuhan budaya Cina yang tampak pada desain interior dinding makam yang penuh dengan hiasan keramik dan porselin, yang dibawa oleh istri  Sunan Gunung Jati, Nyi Mas Ratu Rara Sumandeng (Ong Tien Nio) yang merupakan putri dari kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming (sekitar abad ke-13 M). Keberadaan keramik dan piring porselin yang menempel pada dinding makam hingga kini masih tampak terawat dan bersih walaupun telah berusia ratusan tahun.
Karena percampuran budaya itulah, Makam Sunan Gunung Jati tidak hanya di ziarahi oleh umat Islam saja, tetapi juga oleh mereka yang beragama Budha dan Hindu pun turut berziarah ke sana. Bahkan di dalam kompleks Makam Sunan Gunung Jati terdapat tempat khusus bagi warga keturunan Tionghoa untuk berdoa. (ysg)