Monday, August 6, 2012

Rujak Bebek Kuliner Lezat yang Semakin Terpinggirkan



Rujak bebek  adalah salah satu rujak khas Cirebon. Rujak ini sama sekali tidak mengandung daging bebek. Bebek disini adalah bahasa Cirebon dari tumbuk yang dibaca beubeuk.  Rujak bebek terdiri dari buah-buahan yang bertekstur keras seperti mangga muda, bengkoang, jambu air, jambu batu, kedongdong dan ditambah juga dengan ubi muda, bagi yang suka bisa juga ditambah dengan buah mekudu  muda (pace).

Cara membuatnya pun cukup unik, dimana buah-buahan dan ubi tersebut dipotong kecil-kecil dan kemudian ditumbuk (dibebek) dalam  sebuah lesung /alu kecil bersama dengan bumbu yang terdiri dari Gula merah, cabai serta sedikit garam dan terasi. Sehingga menghasilkan rasa yang ramai, asam, manis dan pedas yang terasa begitu segar jika dikonsumsi pada siang hari.

Rujak bebek disajikan menggunakan picuk daun pisang dengan sendok yang juga terbuat dari daun pisang yang dilipat. Sangat tradisional bukan? Harganya pun cukup murah hanya Rp 3.000,00 saja per porsinya. Rujak bebek biasanya dijajakan berkeliling dengan menggunakan pikulan dan ada juga yang menjajakannya dengan bersepeda. Saat ini  pedagang rujak bebek sudah semakin jarang dapat kita temui di lingkungan perumahan, namun kita masih dapat menjumpainya di beberapa tempat seperti di Pasar Kanoman, di pusat-pusat pertokoan ataupun perkantoran.

 Menurut Wawan (34) pedagang rujak bebek asal Astana Japura Cirebon, saat ini banyak para pedagang rujak bebek yang sudah beralih profesi, karena rujak bebek dinilai sudah tidak lagi pupuler seperti dulu. Namun dirinya tetap berkeyakinan, masih banyak orang yang menyukai makanan khas Cirebon ini. “Ya selama Cirebon masih berdiri, rujak bebek harus tetap ada”. Tegasnya sambil menumbuk rujak bebek pesanan pembeli. (ysg)

Sunday, August 5, 2012

Menikmati Perpaduan Budaya di Keraton Kasepuhan Cirebon


Saat ini (5/8/12) cuaca di Cirebon sangat panas dan kering, karena sedang berhembus angin kumbang yaitu angin yang membawa udara kering yang biasa berhembus di wilayah Cirebon hingga Tegal pada Bulan Agustus setiap tahunnya. 

Untuk mengurangi pengaruh hawa panas dari angin kumbang tersebut, Cirebon Insight memutuskan untuk berjalan-jalan ke Keraton Kasepuhan, yaitu sebuah keraton tertua dan termegah di Cirebon. Keraton ini dibangun pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. 

Pada awalnya Keraton Kasepuhan bernama Keraton Pakungwati, nama tersebut diambil dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua.

Disebelah Timur Keraton terdapat bangunan yang cukup tinggi Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Bangunan tersebut dikelilingi dengan tembok bata tua atau terracota yang masih kokoh, tembok tersebut memiliki gapura bergaya bentar sebagai pintu masuknya. Gapura bentar adalah gapura khas kerajaan Majapahit, konon bentuk Keraton Pakungwati pada awalnya mengadopsi bentuk istana Trowulan Majapahit. Hal unik lainnya pada tembok tersebut adalah terdapat ornamen berupa piringan keramik yang berasal dari Cina dan Eropa yang tertanam hampir di sepanjang tembok gapura.

Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang bernama Alun-alun Sangkala Buana. Dahalu di alun-alun tersebut setiap hari Sabtu selalu digelar latihan keprajuritan yang disebut dengan Saptonan. Di alun-alun tersebut juga dijadikan tempat untuk melaksanakan hukum pidana Islam, seperti hukum cambuk bagi masyarakat yang bersalah. 

Di Sebelah Barat Alun-alun tersebut berdiri sebuah masjid yang usianya tidak jauh berbeda dengan Istana Pakungwati, yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Masjid ini memiliki keunikan dengan dikumandangkannya Adzan Pitu, yaitu Adzan (panggilan sholat) yang disuarakan bersama tujuh orang muadzin sekaligus.

Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan atau yang disebut Kompleks Siti Inggil,  kita akan menemui dua buah pendopo, yang terletak di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton dan lurah, sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.

Setelah Melewati gerbang atau disebut juga regol akan tampak halaman luas di tengah halaman tersebut tampak patung dua ekor macan putih yang disebut juga dengan Macan Ali, yang menjadi lambang dari Keraton kasepuhan, juga menjadi simbol dari keraton lainnya di Cirebon. Di belakang patung tersebut tampak bangunan utama berwarna putih. Bangunan tersebut bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman.

Dibelakang bangunan tersebut terdapat beberapa ruangan yang termasuk ruangan utama yang sering dijadikan kegiatan kenegaraan Sultan kasepuhan, seperti Bangsal Pringgodani dan Bangsal Panembahan yang merupakan ruangan utama tempat Sultan menerima tamu kenegaraan ataupun mengadakan rapat-rapat penting bersama para petinggi keraton.

 Dalam bangsal panembahan kita akan kembali disuguhkan pemandangan yang luar biasa dari perpaduan beberapa budaya, seperti Jawa, Arab, China dan Eropa. Seperti lukisan dan lampu gantung yang berasal dari Eropa, maupun ornamen bunga lotus/teratai merah pada dingding Bangsal Panembahan yang mewakili budaya China.

Di dalam komplek Keraton kasepuhan kita juga dapat menemukan dua buah musium keraton, musium di sebelah barat adalah musium yang berisikan benda-benda pusaka keraton, seperti alat musik yang terdiri dari gending dan gamelan, perlengkapan perang mulai dari keris, tombak, baju jirah serta beberapa meriam dari portugis dan somalia. 

Sedangkan musium di sebelah timur adalah musium Singa Barong, yang berisi kereta pusaka keraton Kasepuhan yang merupakan perwujudan beberapa mahluk yang bertubuh singa, berkepala naga, berbelalai gajah serta bersayap garuda. Kereta pusaka ini tersimpan rapih dalam musium tersebut dan hanya dikeluarkan pada bulan syawal untuk di jamas atau dibersihkan.

Untuk memasuki Keraton Kasepuhan, kita hanya perlu merogoh kantong sebesar Rp 5.000,- saja itupun sudah termasuk jasa pemandu wisata yang juga merupakan abdi dalem Keraton Kasepuhan. Sedangkan untuk memasuki kompleks Siti Inggil kita tidak dipungut biaya sepeserpun. Dalam kompleks Siti Inggil yang sejuk ini kita masih bisa merasakan suasana Istana Trowulan Majapahit.

Keraton Kasepuhan terletak di Jl Lemah Wungkuk Cirebon, letaknya tidak jauh dari Pasar Kanoman (keraton Kanoman). Banyak akses transportasi dari Stasiun Kejaksan Cirebon dan  Stasiun Prujakan, maupun dari Terminal Harjamukti Cirebon kita dapat menggunakan becak maupun angkot. Untuk ongkos becak dari Stasiun Kejaksan dan Prujakan sekitar Rp 15.000,- dan dari Terminal Harjamukti sekitar Rp 20.000,-. Sedangkan untuk angkot, dari ketiga “gerbang masuk” kota Cirebon tersebut, perlu setidaknya dua kali ganti angkot dengan ongkos Rp 2.500, sekali jalan. (ysg)

Saturday, August 4, 2012

Tabuh Bedug Masjid Sang Cipta Rasa


Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan (Cirebon Insight)
Ada tradisi unik dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang digelar selama bulan Ramadhan. Masjid Tua peninggalan Sunan Gunung Jati yang terletak di Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon ini, selama bulan Ramadhan menggelar Tradisi Dugdag, yaitu tradisi tabuh bedug yang digelar setiap malam sekitar pukul 23.00 usai tadarusan (membaca Al Qur’an) hingga menjelang waktu imsyak yaitu pukul 04.30.
Menabuh dugdag menjelang imsyak (Doc. SCTV)
Menurut H. Sobari, sesepuh Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Tradisi yang sudah berlangsung sejak abad 14 ini pada awalnya bertujuan untuk mengabarkan waktu sholat 5 waktu dan datangnya bulan Ramadhan, namun saat ini tabuh dugdag hanya digelar selama bulan Ramadhan saja. Dengan tujuan mengingatkan/membangunkan warga untuk sholat malam di masjid dan untuk sahur.
Menabuh bedug dalam tabuh dugdag tidaklah sembarangan, dalam dugdag ada tiga irama tabuh bedug yang harus dibunyikan, karena itu untuk menghindari kesalahan para penabuh dugdag yang rata-rata menabuh selama 20 menit, diberikan kesempatan sebelumnya untuk berlatih, agar tidak terjadi kesalahan irama saat menabuh. Sebelum menabuh bedug, para penabuh bedug juga diwajibkan untuk bersuci/berwudlu layaknya hendak mendirikan sholat.
Seperti halnya kebanyakan tradisi, tabuh dugdag juga tidak lagi populer dikalangan generasi muda. Rata-rata penabuh dugdag saat ini sudah berusia lanjut. Sebut saja Muhamad Rifai yang sudah menabuh dugdag selama 50 tahun, menurutnya generasi muda saat ini sudah tidak lagi tertarik dengan tradisi dugdag, mereka lebih menarik dengan tradisi modern, walaupun tradis tersebut kurang bermanfaat. (ysg)