Wednesday, November 9, 2011

Menikmati Lengko Kuliner Khas Cirebon




Sebuah harian nasional dalam salah satu edisinya pernah menulis, lengko adalah pecal khas Cirebon. Mungkin karena penampilannya yang mirip pecal, tapi sebenarnya lengko tidak termasuk dalam “keluarga” pecal, bahkan keluarga jauh sekalipun.

Lengko atau sering disebut juga nasi lengko, adalah salah satu kuliner khas Cirebon dengan komposisi yang sederhana, namun dengan rasa yang luar biasa. Satu porsi lengko terdiri dari tempe dan tahu goreng yang diiris kotak-kotak, kecambah (taoge) rebus, timun yang diiris kecil-kecil (dicacah) dan potongan kecil daun kucai yang disiram dengan sambal kacang yang gurih dan diberi kecap manis secukupnya. Namun ada juga lengko yang tidak menggunakan sambal kacang tetapi langsung menggunakan sambal pedas dengan rasa yang khas dan terasa lezat saat dipadukan dengan bahan-bahan lengko yang lainnya.

Di beberapa tempat di Cirebon, nasi lengko juga dipadukan dengan sate kambing yang disajikan dalam porsi  terpisah. Banyak orang yang menilai nasi lengko dan sate kambing jika disantap bersamaan akan menimbulkan citra rasa tersendiri yang sangat lezat. Bagi orang yang tidak menyukai daging kambing tidak perlu khawatir, nasi lengko juga cukup lezat jika disantap hanya dengan ditemani gurihnya kerupuk.

Lengko dapat dengan mudah ditemui di berbagai tempat di wilayah Cirebon, namun bagi pecinta kuliner asal luar Cirebon, biasanya mereka menikmati nasi lengko di Jl. Pagongan kota Cirebon, di sana banyak terdapat penjual nasi lengko lengkap dengan sate kambingnya. (ysg)

Sunday, November 6, 2011

Berharap Berkah dari Tradisi Gentong Haji


Foto : Istimewa

Ada sebuah tradisi menarik dari masyarakat Desa Buyut kecamatan Gunung Jati Cirebon, setiap musim haji tiba (Lebaran Idul Adha), Yaitu tradisi gentong haji.
 
Dimana masyarakat  yang terdapat anggota keluarganya berangkat haji, menyediakan sebuah gentong berisi air minum di depan rumahnya. Biasanya gentong tersebut dihiasi oleh daun pandan dan ditutup dengan kukusan anyaman bambu berbentuk kerucut.

Warga di sana percaya, jika menyediakan gentong haji di depan rumah, maka keluarga atau kerabat yang sedang beribadah haji akan merasa damai di sana, sedangkan bagi yang meminumnya atau membasuh muka dengan air dari gentong tersebut, akan segera mendapatkan panggilan untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu beribadah haji ke tanah suci.

Siapapun diperkenankan untuk mengambil air dari gentong haji tersebut, karena itu gentong haji kerap menjadi rebutan bagi warga yang lewat, bahkan ada yang sengaja memburunya untuk mendapat air dari gentong haji, dengan harapan akan dikarunai rezeki untuk dapat menunaikan ibadah haji di tanah suci. (ysg)

Tuesday, November 1, 2011

Mengawali Perjalanan Hidup Dengan Tradisi Mudun Lemah


Dok : Istimewa
Sepasang kaki mungil itu dituntun untuk menapaki bumi selangkah demi selangkah, dari sanalah perjalanan hidup ini dimulai…

Setelah seorang anak menginjak usia tujuh bulan, dalam adat Jawa khususnya Cirebon, dikenal sebagai masa untuk mengenalkan anak pada tanah. Saat itu adalah pertama kali kaki sang anak diperkenankan untuk menginjakkan kaki ke bumi/tanah. Tradisi ini biasa dikenal dengan tradisi Mudun lemah.

Sebelum seorang anak menjalani tradisi ini, ada beberapa hal yang perlu disiapkan oleh orang tua, yaitu bubur merah bubur putih, tumpeng lengkap dengan isinya, ketan tetel/ketan uli, kembang setaman, beberapa helai kain berwarna merah, putih, hitam, hijau dan jingga, kurungan ayam yang terbuat dari bambu, serta beberapa properti yang akan dipilih oleh sang anak nantinya.

Perangkat tradisi mudun lemah milik Keraton Kasepuhan Cirebon
Dalam tradisi mudun lemah ada tahap-tahap yang harus dilalui oleh sang anak. Tahap pertama, anak akan dimandikan terlebih dahulu menggunakan air bunga setaman, maksudnya adalah agar sang anak kelak mengarungi perjalanan hidupnya dalam keadaan bersih. Setelah itu sang anak dikenakan pakaian yang bersih dan bagus dengan filosofi kelak sang anak akan tumbuh dengan hati bersih dan hidup mulia. Prosesi selanjutnya adalah sang anak diajak berkeliling dilingkungan sekitar rumahnya, agar anak tersebut mengenal dan mencintai lingkungan tempat tinggalnya. Biasanya prosesi berkeliling ini disertai dengan musik rebana yang berisikan puji-pujian kepada Sang Maha Pencipta.

Selanjutnya sang anak akan dibimbing untuk melangkah dengan menginjakan kaki pada ketan tetel, dengan tujuan agar kelak sang anak tidak pernah melupakan tanah kelahirannya. Usai prosesi tersebut, kemudian sang anak akan dibimbing untuk menaiki anak tangga yang terbuat dari tebu wulung, dengan maksud agar sang anak dapat menapaki kesuksesannya setahap demi setahap, hingga ia kelak berada pada derajat yang tinggi.

Prosesi terakhir adalah sang anak akan dimasukkan kedalam kurungan ayam, dimana dalam kurungan tersebut telah diletakkan benda-benda pilihan, seperti kitab Al-Qur’an, buku tulis, cermin, uang dan benda-benda bermanfaat lainnya. Sang anak akan dibiarkan untuk mengikuti nalurinya mengambil salah satu dari benda tersebut, yang masing-masing mengandung makna yang berbeda yang mencerminkan kehidupan sang anak kelak. 

Misalkan anak tersebut mengambil Al-Qur’an, maka anak tersebut dianggap akan menjadi orang yang taat beragama, jika uang yang diambil oleh anak tersebut, maka sang anak kelak akan dianggap akan menjadi seorang pengusaha/pedagang yang sukses, apabila buku tulis yang menjadi pilihan anak tersebut, maka diramalkan anak tersebut akan tumbuh menjadi anak yang pandai.

Saat ini tradisi mudun lemah sudah semakin jarang dilaksanankan. Hanya oleh mereka yang masih memegang tradisi yang kuatlah, tradisi ini tetap bertahan melawan derasnya kemajuan zaman. namun walaupun begitu, nilai-nilai yang dikandung dalam tradisi ini merupakan nilai-nilai luhur yang wajib ditanamkan oleh setiap orang tua kepada buah hatinya. Agar kelak terbentuk generasi-generasi yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa. (ysg)

Saturday, October 15, 2011

Pepes Intip Tahu, Kuliner Lezat dari Sindang Laut


Satu lagi pesona kuliner Cirebon yang tidak kalah lezatnya, yaitu pepes intip tahu Sindang Laut. Seperti namanya, kuliner satu ini berasal dari daerah Sindang Laut, yaitu wilayah yang terletak sekitar 20 km ke arah timur dari Kota Cirebon

Pepes ini terbuat dari intip (kerak) tahu yang diramu dengan bumbu tertentu dan diberi potongan cabe rawit, sehingga memiliki rasa gurih, manis dan pedas, yang terasa bercampur di lidah saat memakannya.  pepes ini dikemas dengan menggunakan daun pisang dan dimasak dengan cara dibakar sehingga memiliki aroma khas yang harum dan lezat.

Pada awalnya pepes intip tahu hanyalah usaha sampingan dari para produsen tahu di sana,  yang memanfaat kerak tahu dari sisa produksi. Namun karena rasanya yang lezat, telah menjadikan pepes intip tahu sebagai usaha mandiri yang menjanjikan.

Sebelumnya pepes tahu hanya dapat kita peroleh di Sindang Laut saja, namun karena banyaknya peminat pepes intip tahu dari luar Sindang Laut, seperti dari kota Cirebon, maka saat ini pepes intip tahu juga dapat kita temui dengan mudah di beberapa tempat di kota Cirebon. Seperti di jalan Kesambi depan Dinas kesehatan di jalan Evakuasi depan STTC Cirebon, maupun dipelataran parkir Stadion Bima setiap hari Minggu. 



Harganya pun cukup murah, hanya dengan seribu rupiah kita sudah dapat menikmati sebungkus pepes intip tahu sindang laut yang lezat, baik sebagai kudapan maupun sebagai lauk untuk makan. (ysg)

Sunday, September 11, 2011

Membangkitkan Kembali Tari Bedaya Kajongan dari Tidur Panjang


                                                                                  Foto: Pikiran Rakyat Online
“Di Keraton Kanoman akan digelar pentas tari Kajongan besok malam” begitulah bunyi pesan singkat yang aku terima pada tanggal 9 September 2011 dari Masham, seorang teman yang juga seorang fotografer yang aktif sebagai Citizen Journalist. Dalam benakku langsung terlintas dukuh Kajongan yang terletak di Purbalingga Jawa tengah. Ternyata dugaanku itu salah, Kajongan adalah salah satu tarian Cirebon yang hampir punah. Pantas saja banyak orang yang tidak mengetahuinya, termasuk orang Cirebon sendiri. Karena tarian ini terakhir di pentaskan pada tahun 1948, itu pun khusus digelar di depan keluarga keraton saja.

Tari Bedaya Kajongan adalah tarian yang diciptakan pada masa Sultan Kanoman VIII, yaitu Sultan Raja Dzoelkarnaen yang memimpin sekitar abad ke -17. Tari kajongan mengutarakan tentang filosofi perang yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral, etika sosial serta sejarah yang sarat dengan falsafah kehidupan. Tarian ini dibawakan oleh penari wanita yang selalu berjumlah genap (biasanya dua orang penari) yang menari dengan membawa senjata jenis gada sebagai simbol perang. Namun karena tari ini hanya boleh ditonton oleh keluarga keraton, dimana para penarinya juga masih keluarga keraton yang dilarang menurunkan ilmunya di luar garis keluarga keraton, maka lambat laun Tari Bedaya Kajongan semakin terlupakan dan berada di ambang kepunahan.

Melihat kondisi tersebut, keraton kanoman berupaya membangkitkan kembali Tari Kajongan dari tidur panjangnya. Pada tahun 2009 Sultan Kanmoman XII, Sultan Raja Mochamad Emirudin menitahkan kepada Pangeran Raja Kodiran dan Ratu Raja Arimbi Nurtina untuk merumuskan gagasan revitalisasi seni dan melakukan penelusuran Tari Bedaya Kajongan. Maka sejak tahun 2009 dimulailah “penggalian”  kembali Tari Bedaya Kajongan, dengannkajian bersama antara penari dan para penabuh gamelannya, hingga dapat ditelusuri kembali koreografi tarian, musik dan desain busananya.

Berbekal dari perumusan tersebutlah, maka dimulailah latihan rutin Tari Bedaya Kajongan, yang ditarikan oleh dua orang penarinya yaitu, Ratu Min dan Raden Anah yang sudah sekitar 20 tahun berhenti dari dunia seni tari. Hingga pada hari Sabtu, 10 September 2011 Tari Bedaya kajongan kembali di pentaskan di Bangsal Jinem Keraton Kanoman pada pukul 20:00. Kali ini tidak hanya di pentaskan di depan keluarga keraton kanoman saja, tapi di saksikan pula oleh  perwakilan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, sekitar 50 undangan  negara sahabat, seniman, agamawan, dan perwakilan media massa.

Semoga pementasan Tari Bedaya Kajongan tersebut menjadi awal kebangkitan kesenian Cirebon lainnya yang sampai saat ini masih berada di ambang kepunahan, seperti Rimbe, Gododan, Golekan, Kembang, Perang Keris, Tumenggung, dan Rahwana Gandrung (ysg)



Thursday, September 8, 2011

Orang-orang Keling Penjaga Makam Sunan Gunung Jati


                                                                                                          Foto : Istimewa
Para penjaga atau kuncen (juru kunci) pada makam Sunan Gunung Jati ternyata menyimpan sejarah yang menarik untuk disimak. Para kuncen yang keseluruhannya berjumlah 108 orang itu ternyata masih berada dalam satu garis keturunan. Perhatikan saja wajah-wajah mereka, dimana ada kesamaan bentuk wajah oval dengan mata cekung ke dalam dan hidung mancung, serta kulit gelap. Sebagian besar bekel juga berambut keriting atau sekadar bergelombang.karena kata “keling” dalam bahasa Cirebon sering mengacu pada warna kulit yang hitam atau coklat mengkilat.
Mereka adalah orang-orang keturunan Adipati Kelingga, yang berasal dari sebuah daerah dekat Kediri Jawa Timur pada masa Kerajaan Majapahit dulu. Karena itulah para kuncen tersebut dikenal juga dengan sebutan orang Keling. Adipati Keling dan rombongannya datang ke Cirebon  dengan membawa rasa sakit hati, yang tidak diketahui terhadap siapa dan karena alasan apa. Kemudian  Adipati Keling bertemu dengan Sunan Gunung Jati dan menjadi orang kepercayaan sang sunan dengan gelar Adipati Pangeran Suranenggala.
                                                                             Foto : Istimewa
Sebagai rasa terima kasih sang adipati kepada Sunan Gunung Jati, ia pun bersumpah akan membaktikan dirinya hingga tujuh turunan kepada Sunan Gunung Jati. Walaupun saat ini orang keling sudah sampai ke generasi ke lima belas, namun mereka masih membaktikan dirinya terhadap Sunan Gunung Jati dengan menjaga dan merawat makam sunan tanpa di gaji, di mana untuk kehidupan sehari-hari mereka hanya menggantungkan hidup dari sedekah yang diberikan oleh para peziarah secara sukarela. Mereka terbagi dalam 9 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 12 orang berjaga-jaga secara bergiliran selama 15 hari yang diketuai oleh seorang Bekel Sepuh dan Bekel Anom (mewakili Keraton Kasepuhan dan Kanoman) yang dipimpin oleh seorang Jeneng yang diangkat oleh Sultan..  Saat ini mereka yang mengemban tugas tersebut umumnya karena meneruskan tugas dari ayah atau saudara yang tidak mempunyai anak atau bisa juga karena mendapat kepercayaan dari yang berhak. Ada serangkaian ritual yang harus dilaksanankan pada saat pertama kali mereka diberi amanat mengemban tugas. (ysg)