Friday, May 20, 2011

Asal usul kata “Bobad” (Bohong) dalam Bahasa Cirebon


Dalam bahasa Cirebon mengenal kata bobad yang dalam bahasa indonesia berarti bohong. Kata bobad dalam bahasa Jawa Cirebon ini tidak terdapat pada kosakata bahasa Jawa lainnya, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur.

Kata Bobad diambil dari sebuah peristiwa di masa lampau, yaitu Perang Bubat. Perang antara Majapahit dan Padjadjaran yang terjadi di daerah Bubat (Di Jawa Timur dekat Istana Trowulan Majapahit). Perang tersebut oleh sebagian besar masyarakat Jawa Barat (Sunda) dianggap sebagai sebuah kebohongan besar. Dimana rombongan kerajaan Padjadjaran yang akan berkunjung ke Ibu Kota Majapahit atas undangan Raja Majapahit, Baginda Raja Hayam Wuruk, dengan tujuan untuk menikahkan sang Putri Diah Pitaloka dengan raja Majapahit tersebut, diserang oleh tentara Majapahit secara mendadak. Sehingga seluruh rombongan Kerajaan Padjadjaran termasuk sang baginda dan putrinya tewas dalam peristiwa tersebut.

Rupanya peristiwa tersebut membekas di hati rakyat pasundan khususnya masyarakat Cirebon yang masih memiliki kekerabatan dengan Kerajaan Padjadjaran,  sehingga kata bubat masuk dalam bahasa sehari-hari masyarakat Cirebon menjadi kata Bobad untuk menggambarkan sebuah kebohongan. (ysg)

Sejuknya Air Terjun Curug Ciputri


Jenuh dengan penatnya suasana kota yang panas? Tidak ada salahnya jika kita mengunjungi Curug Ciputri sebagai penawar penat.

Di kaki Gunung Ciremai, tepatnya di Desa Cisantana Kecamatan Cigugur, terdapat kawasan hutan pinus yang selain dijadikan sebagai lokasi Bumi Perkemahan (Buper) juga menjadi salah satu obyek tujuan wisata di Kuningan. Letaknya yang persis di kaki Gunung Ciremai, selain memiliki panorama hutan pinus yang indah dan udaranya yang sejuk, juga terdapat keindahan lain, yaitu sebuah air terjun yang bernama Curug Ciputri, curug ini terletak di bawah Buper Palutungan. Dinamakan Curug Ciputri karena konon, menurut legenda masyarakat setempat, di sana bersemayam seorang putri cantik yang menjaga air terjun tersebut.

Untuk menuju kesana kita harus melalui jalan setapak yang menurun dan berundak-undak dengan tumbuhan dan semak-semak di kiri kanannya. Suasana sejuk dan dingin telah terasa begitu kita menapaki jalan setapak tersebut, gemericik suara air terjun juga sudah terdengar mengiringi langkah kita. Jika musim hujan kita harus lebih berhati-hati saat berjalan menuju Curug Ciputri, karena jalan setapak yang kita lalui masih alami terbuat dari tanah, sehingga dapat menjadi licin saat terkena air hujan.

Curug yang hanya setinggi dua belas meter ini terdapat pada lembah yang tak begitu luas. Disana kita dapat menyaksikan indahnya air terjun yang dikelilingi oleh tebing-tebing yang menghijau karena ditumbuhi semak-semak. Di bawah air terjun Curug Ciputri, terbentuk genangan air jernih mirip kolam yang tidak terlalu luas, dalamnya pun hanya sekitar tiga puluh centimeter saja, dengan dihiasi bebatuan di dasarnya dan juga terdapat beberapa batu besar yang telah berlumut, sehingga menambah indah suasana di Curug Ciputri. Tebing-tebing tersebut juga sering digunakan sebagai ajang latihan bagi para pecinta alam untuk panjat tebing.

Saat hari minggu atau musim libur tiba, Buper Palutungan tak terkecuali Curug Ciputri sangat ramai dikunjungi wisatawan, mereka ada yang sekedar berkunjung ada juga yang berkemah di lokasi buper tersebut.

Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Palutungan tanpa berpose di Curug Ciputri, karena itu jika kondisi sedang ramai, para pengunjung rela bergantian untuk mendapatkan foto dengan latar belakang air terjun. Keindahan Curug Ciputri juga sering diabadikan oleh calon pasangan pengantin sebagai bagian dari foto pre wedding mereka.

Tapi bagi yang bermaksud mencari ketenangan, bisa saja berkunjung ke Curug Ciputri lebih pagi atau selain pada hari libur, karena di saat-saat seperti itu selain suara kita, yang terdengar adalah suara gemericik air terjun yang menyejukkan hati. (ysg)

Thursday, May 19, 2011

Ngarot, Berburu Jodoh Sebelum Musim Tanam


 
Jika di Bali ada tradisi Tawur Cium sebagai ajang muda-mudi mencari jodoh, begitu juga dengan di Indramayu. Di wilayah agraris ini, tepatnya di Desa Lelea sekitar 25 Km dari pusat kota Indramayu. Di desa tersebut di setiap penghujung tahun, tepatnya pada Rabu ke empat di Bulan Desember, selalu digelar Upacara Ngarot yaitu sebuah tradisi agraris dimulainya masa bercocok tanam yang sekaligus juga merupakan ajang mencari jodoh bagi muda-mudi di sana.

Dalam Upacara Ngarot, para gadis akan di dandani secantik mungkin bak pengantin, mereka mengenakan busana kebaya yang didominasi warna putih berpadu dengan kain batik lengkap dengan selendangnya, serta ditambah rangkaian bunga yang menghiasi kepala mereka. Membuat para gadis tersebut semakin tampak menggemaskan. Sementara para jejakanya mengenakan baju pangsi warna hitam berpadu dengan celana gombrang hitam serta mengenakan ikat kepala.
Upacara Ngarot diawali dengan berkumpulnya para muda-mudi peserta Ngarot di balai desa. Di sana mereka akan meminta restu kepala desa sebagai orang yang di tuakan, agar Upacara Ngarot dapat berlangsung dengan lancar serta mendapatkan berkah dari upacara tersebut. Kemudian upacara dilanjutkan dengan arak-arakkan keliling Desa Lelea yang dipimpin oleh kepala desa dan istrinya yang berjalan paling depan, kemudian diikuti dengan barisan para gadis dan para pemuda yang berjalan dibarisan paling belakang.
Seusai arak-arakan mereka akan kembali berkumpul di balai desa, di sana para gadis dan pemuda akan duduk dalam barisan yang saling berhadap-hadap. Dalam acara ini mereka akan disuguhi hiburan berupa tari Ronggeng Ketuk, yaitu tari tradisional yang menceritakan sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran dan mamadu kasih. Tari Ronggeng Ketuk dipentaskan dengan tujuan untuk menggoda para muda-mudi untuk saling berpandangan, sehingga tergerak hasrat mereka untuk saling mengenal dan jatuh cinta.
Berawal dari Tradisi Agraris
Dalam kehidupan berbudaya Masyarakat Lelea, Upacara Ngarot sudah dilaksanakan sejak dulu kala (sekitar tahun 1686). Upacara ini pertama kali di gelar oleh Canggara Wirena, ia adalah kuwu (kepala desa) pertama Lelea. Pada awalnya upacara tersebut digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Ki Buyut Kapol, sesepuh kampung yang telah memberikan sebidang sawah kepada masyarakat Lelea. Dimana sawah tersebut digunakan oleh masyarakat untuk berlatih cara bercocok tanam padi yang baik. Dalam latihan tersebut kaum wanitanya juga dilibatkan untuk berlatih mulai dari mananam padi hingga memanen padi. Mereka juga belajar cara memberikan konsumsi bagi para pria yang sedang bekerja di sawah.
Setiap tahunnya ungkapan rasa syukur itu diwujudkan melalui pesta desa, dimana masyarakat diundang untuk berkumpul di balai desa, untuk saling bersilahturahmi sambil menikmati hidangan berupa makanan dan minuman. Dari sinilah kata ngarot yang dalam bahasa sunda berarti minum minuman, diambil sebagai nama dari tradisi tahunan tersebut. Dalam perkembangannya Upacara Ngarot bukan lagi sekedar pesta makan dan minum menjelang musim tanam saja, tetapi sudah menjadi ajang mencari jodoh seperti yang dikenal saat ini. Bahkan para orang tua di sana percaya, bahwa jodoh yang diperoleh melalui Upacara Ngarot bakal kekal, karena hanya mereka yang berhati bersih dan masih suci sajalah yang dapat mengikuti upacara tersebut.
Ajang Pembuktian Kesucian
Bukan hanya sekedar ajang mencari jodoh, Upacara Ngarot juga dijadikan sebagai ajang pembuktian kesucian bagi para muda-mudi di sana. Konon menurut kepercayaan warga, jika seorang gadis yang sudah tidak lagi perawan mengikuti Upacara Ngarot, maka bunga yang menghiasi rambutnya akan cepat layu. Dari situlah yang bersangkutan akan malu, karena ketahuan sudah tidak perawan lagi. Bukan itu saja, warga juga meyakini jika ada peserta yang sudah tidak perawan atau kehilangan keperjakaan memaksakan diri untuk mengikuti Upacara Ngarot, maka ia akan terkena tuah yang berakibat buruk pada kehidupan mereka, seperti tidak akan mendapatkan jodoh seumur hidup.
Karena itu, tradisi tahunan ini juga menjadi acara yang paling dihindari oleh mereka yang berstatus janda atau duda. Bagi mereka yang sudah pernah menikah atau tidak lagi suci, lebih memilih untuk menghindari acara tersebut atau memilih hanya sekedar menjadi penonton saja, mereka akan berdiri di barisan penonton bersama anak-anak di bawah umur dan para orang tua yang berharap-harap cemas, anaknya yang ikut menjadi peserta Ngarot akan mendapatkan jodoh sebagaimana yang diharapkan.
Namun menurut Lea Ramadhan, salah seorang peserta. Saat ini tradisi ngarot tidak lagi dijadikan ajang bagi generasi muda untuk mencari jodoh di sana. “Kami hanya turut berpartisipasi melanjutkan tradisi, agar tidak punah ditelan zaman.” tuturnya di sela-sela acara. Tradisi tahunan ini juga tidak hanya diikuti oleh warga Lelea saja, ada juga beberapa peserta yang datang dari luar daerah, tentunya mereka datang kesana tidak untuk mencari jodoh tetapi dengan motivasi yang sama yaitu untuk menyemarakkan Upacara Ngarot sebagai budaya agraris.(ysg)



Aerli Rasinah, Menari Dari Hati


 
Dalam kesehariannya ia tampak seperti gadis biasa, tak ada bedanya dengan gadis-gadis lain seusianya. Tapi saat ia mengenakan busana tari topeng lengkap dengan topengnya. Seolah-olah ada roh lain yang merasuki tubuhnya. Itulah Aerli Rasinah (22) cucu sang maestro Mimi Rasinah sekaligus pemegang tongkat estafet Seni Tari Topeng Indramayu (Pekandangan).

Bagi Aerli, menari baginya bukanlah sekedar menjalankan wasiat almarhumah sang nenek untuk melanjutkan kesenian tari topeng di tangannya. Tapi baginya, menari adalah panggilan jiwa. Bukan sekedar kewajiban tapi merupakan kebutuhan bagi hidupnya. Itulah mengapa setiap gerak tarinya terasa begitu hidup dan sanggup membuat jiwa setiap mata yang memandangnya terasa turut hanyut dalam setiap gerakannya. Karena gerakan tarinya tidak sebatas muncul dari dalam pikirannya, tapi jauh dari dalam hatinya.

Lihat saja tarian Panji Rogoh Sukma yang ia bawakan bersama neneknya, Mimi Rasinah di Bentara Budaya Jakarta dalam acara pentas seni dan pameran ”Indramayu dari Dekat”, Bulan Agustus 2010 silam. Saat itu Mimi Rasinah hanya bisa menari sambil terduduk akibat stroke yang dideritanya, ia hanya sanggup menggerakan tangannya dengan lembut, sementara Aerli menari di atasnya. Dengan penjiwaan yang kuat, Aerli sanggup membaca pikiran sang neneknya dan menterjemahkannya dalam gerak tari yang memukau.

Panji Rogoh Sukma adalah tarian terakhir Mimi Rasinah. Tarian ini diaggap sebagai puncak tertinggi seni tari Topeng Indramayu. Dalam tarian ini seorang penari dituntut untuk mengolah jiwanya dengan menahan segala gerak tubuh. Gerak-gerak yang muncul adalah dorongan yang benar-benar meluncur dari kedalaman jiwa, bukan karena sesuatu yang dipikirkan secara teknis. Dan Aerli Rasinah sanggup melakukan semua itu dengan baik.
Berpindahnya tongkat estafet Seni Tari Topeng Indramayu dari Mimi Rasinah ke Aerli Rasinah, tidaklah dilakukan secara sembarangan. Mahasiswi STSI bandung ini Pada 15 Maret  2010 yang lalu, harus  bebarangan (ngamen) di tujuh tempat dalam sehari sebagai syarat untuk melanjutkan perjuangan Mimi Rasinah. Kini Sanggar Seni Tari Mimi Rasinah dan kelangsungan hidup seni tari topengnya ada di pundak Aerli Rasinah beserta murid sang maestro lainnya. Semoga Tari Panji Rogoh Sukmo tidak lagi menjadi puncak dari segala puncak tari topeng Indramayu. Tapi melalui tangan dingin Aerli Rasinah, akan lahir kreasi-kreasi seni topeng yang lebih memukau. (ysg)


Tuesday, May 17, 2011

Kereta Singa Barong, Peninggalan Sejarah Berteknologi Modern




Sesosok mahluk terbang melintasi angkasa dengan sepasang sayap yang indah. Mahluk tersebut berbadan singa namun berkepala naga dengan belalai menyerupai gajah yang menggenggam sebilah trisula. Itulah sosok mahluk prabangsa (purba, imajiner – Red) yang dilihat pada suatu malam oleh Pangeran Losari, adik dari Panembahan Ratu I.

Ketika hal tersebut disampaikan kepada sang kakak, gambaran mahluk tersebut menjadi ide design untuk membuat kereta kerajaan baru, sebagai ganti dari pedati gede pekalangan. Melalui arsiteknya, Ki Natagana atau yang lebih dikenal dengan julukan Ki Gede Kaliwulu. Di bangunlah sebuah kereta Kerajaan yang bentuknya persis menyerupai sosok mahluk yang dilihat oleh Pangeran Losari tersebut. Kereta tersebut di beri nama Kereta Singa Barong yang selesai di buat pada tahun Jawa 1571 Saka (1649 M), dengan sengkalan (kode) tahun Saka: Iku Pandhita Buta Rupane (Itu Pendeta Raksasa Wujudnya).

 
Walaupun dibuat pada masa lampau, para ahli berpendapat, Kereta Singa Barong telah memiliki tehnologi yang canggih, yang telah banyak digunakan oleh kendaraan-kendaraan masa kini. Kereta tersebut memiliki suspensi sempurna, yang dapat meredam guncangan kereta saat melalui jalanan berbatu atau rusak, sehingga akan nyaman saat digunakan. Hal tersebut juga didukung dengan design roda yang diciptakan sesuai dengan suspensi yang dimiliki kereta, sehingga dapat berputar secara stabil. Roda kereta ini juga didesign untuk kondisi jalan becek, dimana posisi roda dibuat menonjol dari jari-jarinya, agar terhindar dari cipratan air saat melaju di jalanan yang becek. Kereta ini juga memiliki kemudi yang menggunakan sistem hidrolik, sehingga mudah dikemudikan oleh sais/kusirnya. Bahkan kedua sayap yang dimiliki oleh kereta ini dapat bergerak, seperti kepakan saat kereta berjalan.

Dengan segala kenyamanan yang dimilikinya, pada masa kesultanan dulu Kereta Singa Barong dijadikan sebagai kendaraan dinas sultan untuk berkunjung ke wilayah kekuasaannya hingga ke pelosok daerah. Kereta ini ditarik oleh empat ekor kerbau bule, yang diyakini memiliki kekuatan lebih disbanding jenis kerbau biasanya.

Saat ini kereta Singa Barong sudah tidak lagi dipergunakan dan disimpan di dalam museum Keraton Kasepuhan sejak tahun 1942, beserta benda-benda pusaka milik keraton lainnya. Hanya replika/tiruan dari kereta ini yang dapat kita lihat menyelusuri jalanan pada momen-momen tertentu. Seperti pada Festival keraton nusantara misalnya, replika Kereta Singa Barong kerap disertakan dalam parade. (ysg)