Jika di Bali ada tradisi Tawur Cium sebagai ajang muda-mudi mencari jodoh, begitu juga dengan di Indramayu. Di wilayah agraris ini, tepatnya di Desa Lelea sekitar 25 Km dari pusat kota Indramayu. Di desa tersebut di setiap penghujung tahun, tepatnya pada Rabu ke empat di Bulan Desember, selalu digelar Upacara Ngarot yaitu sebuah tradisi agraris dimulainya masa bercocok tanam yang sekaligus juga merupakan ajang mencari jodoh bagi muda-mudi di sana.
Dalam Upacara Ngarot, para gadis akan di dandani secantik mungkin bak pengantin, mereka mengenakan busana kebaya yang didominasi warna putih berpadu dengan kain batik lengkap dengan selendangnya, serta ditambah rangkaian bunga yang menghiasi kepala mereka. Membuat para gadis tersebut semakin tampak menggemaskan. Sementara para jejakanya mengenakan baju pangsi warna hitam berpadu dengan celana gombrang hitam serta mengenakan ikat kepala.
Upacara Ngarot diawali dengan berkumpulnya para muda-mudi peserta Ngarot di balai desa. Di sana mereka akan meminta restu kepala desa sebagai orang yang di tuakan, agar Upacara Ngarot dapat berlangsung dengan lancar serta mendapatkan berkah dari upacara tersebut. Kemudian upacara dilanjutkan dengan arak-arakkan keliling Desa Lelea yang dipimpin oleh kepala desa dan istrinya yang berjalan paling depan, kemudian diikuti dengan barisan para gadis dan para pemuda yang berjalan dibarisan paling belakang.
Seusai arak-arakan mereka akan kembali berkumpul di balai desa, di sana para gadis dan pemuda akan duduk dalam barisan yang saling berhadap-hadap. Dalam acara ini mereka akan disuguhi hiburan berupa tari Ronggeng Ketuk, yaitu tari tradisional yang menceritakan sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran dan mamadu kasih. Tari Ronggeng Ketuk dipentaskan dengan tujuan untuk menggoda para muda-mudi untuk saling berpandangan, sehingga tergerak hasrat mereka untuk saling mengenal dan jatuh cinta.
Berawal dari Tradisi Agraris
Dalam kehidupan berbudaya Masyarakat Lelea, Upacara Ngarot sudah dilaksanakan sejak dulu kala (sekitar tahun 1686). Upacara ini pertama kali di gelar oleh Canggara Wirena, ia adalah kuwu (kepala desa) pertama Lelea. Pada awalnya upacara tersebut digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Ki Buyut Kapol, sesepuh kampung yang telah memberikan sebidang sawah kepada masyarakat Lelea. Dimana sawah tersebut digunakan oleh masyarakat untuk berlatih cara bercocok tanam padi yang baik. Dalam latihan tersebut kaum wanitanya juga dilibatkan untuk berlatih mulai dari mananam padi hingga memanen padi. Mereka juga belajar cara memberikan konsumsi bagi para pria yang sedang bekerja di sawah.
Setiap tahunnya ungkapan rasa syukur itu diwujudkan melalui pesta desa, dimana masyarakat diundang untuk berkumpul di balai desa, untuk saling bersilahturahmi sambil menikmati hidangan berupa makanan dan minuman. Dari sinilah kata ngarot yang dalam bahasa sunda berarti minum minuman, diambil sebagai nama dari tradisi tahunan tersebut. Dalam perkembangannya Upacara Ngarot bukan lagi sekedar pesta makan dan minum menjelang musim tanam saja, tetapi sudah menjadi ajang mencari jodoh seperti yang dikenal saat ini. Bahkan para orang tua di sana percaya, bahwa jodoh yang diperoleh melalui Upacara Ngarot bakal kekal, karena hanya mereka yang berhati bersih dan masih suci sajalah yang dapat mengikuti upacara tersebut.
Ajang Pembuktian Kesucian
Bukan hanya sekedar ajang mencari jodoh, Upacara Ngarot juga dijadikan sebagai ajang pembuktian kesucian bagi para muda-mudi di sana. Konon menurut kepercayaan warga, jika seorang gadis yang sudah tidak lagi perawan mengikuti Upacara Ngarot, maka bunga yang menghiasi rambutnya akan cepat layu. Dari situlah yang bersangkutan akan malu, karena ketahuan sudah tidak perawan lagi. Bukan itu saja, warga juga meyakini jika ada peserta yang sudah tidak perawan atau kehilangan keperjakaan memaksakan diri untuk mengikuti Upacara Ngarot, maka ia akan terkena tuah yang berakibat buruk pada kehidupan mereka, seperti tidak akan mendapatkan jodoh seumur hidup.
Karena itu, tradisi tahunan ini juga menjadi acara yang paling dihindari oleh mereka yang berstatus janda atau duda. Bagi mereka yang sudah pernah menikah atau tidak lagi suci, lebih memilih untuk menghindari acara tersebut atau memilih hanya sekedar menjadi penonton saja, mereka akan berdiri di barisan penonton bersama anak-anak di bawah umur dan para orang tua yang berharap-harap cemas, anaknya yang ikut menjadi peserta Ngarot akan mendapatkan jodoh sebagaimana yang diharapkan.
Namun menurut Lea Ramadhan, salah seorang peserta. Saat ini tradisi ngarot tidak lagi dijadikan ajang bagi generasi muda untuk mencari jodoh di sana. “Kami hanya turut berpartisipasi melanjutkan tradisi, agar tidak punah ditelan zaman.” tuturnya di sela-sela acara. Tradisi tahunan ini juga tidak hanya diikuti oleh warga Lelea saja, ada juga beberapa peserta yang datang dari luar daerah, tentunya mereka datang kesana tidak untuk mencari jodoh tetapi dengan motivasi yang sama yaitu untuk menyemarakkan Upacara Ngarot sebagai budaya agraris.(ysg)
No comments:
Post a Comment