Memasuki gerbang keraton Kacirebonan pada hari jadi keraton termuda di tanah Cirebon tersebut, membuatku berpikir untuk membandingkannya dengan keraton lainnya di wilayah Cirebon. Seperti Kasepuhan dan Kanoman, pada keraton Kacirebonan tidak kita ketemui gapura gaya bentar khas Majapahit sebagaimana yang dapat kita ketemui di dua keraton lainnya maupun yang tersebar di seluruh gedung perkantoran dan sekolah di Cirebon.
Pada Keraton Kacirebonan yang kita ketemui adalah tembok tinggi dengan gerbang tak bergapura, hanyalah pintu besar yang dihiasi atap joglo di atasnya. Kacirebonan yang juga merupakan keraton terkecil di Cirebon ini lebih mirip dengan bangunan padukuhan atau rumah-rumah adipati pada masa kerajaan dulu.
Namun begitu, Kacirebonan juga memiliki sejarah panjang dengan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalamnya. Berdirinya Keraton Kacirebonan tak lepas dari ulah kolonial Belanda dalam memecah belah kekuatan pribumi saat itu. Berawal dari perjanjian yang dibuat antara Belanda dan Cirebon pada masa pemerintahan Sultan Anom IV Muhammad Khaeruddin, yang isinya secara langsung memperlemah kekuasaan sultan Cirebon dan menyengsarakan rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang tidak populer, seperti sistem tanam paksa (cultuur stelsel) pajak yang sangat tinggi dan sangat mencekik rakyat, serta campur tangan belanda terhadap urusan keraton yang dinilai melecehkan kewibawaan sultan dan keraton.
Adalah Pangeran Raja Kanoman beserta para putra sultan lainnya, seperti Pangeran Raja Kabupaten dan Pangeran Raja Laut. Mereka secara tegas dan berani menentang campur tangan Belanda terhadap kebijakan keraton, yang memaksa keraton untuk tidak memihak kepada rakyatnya. Hal ini membuat pemerintah kolonial geram dan pada tahun 1762 memaksa para pangeran tersebut keluar dari lingkungan keraton, dengan mencabut gelar dan tahta waris mereka.
Setelah tersisih dari kehidupan keraton, Pangeran Raja Kanoman hidup berbaur bersama rakyat di kawasan Pesantren Buntet yang saat itu dipimpin oleh Mbah Muqoyim salah satu tokoh agama keraton yang juga memilih untuk mengabdi dari luar keraton. Keberadaan sang pangeran di tengah-tengah rakyatnya, selain menimbulkan simpati juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat. Karena itu disamping menuntut ilmu agama, sang pangeran pun menyusun kekuatan perlawanan rakyat yang di sokong oleh kekuatan santri.
Pada tahun 1802, serentetan pertempuran pun terjadi setelah itu. Dari pertempuran-pertempuran kecil hingga pertempuran besar, seperti perang Kedongdong yang membuat Belanda kewalahan dan rugi ratusan juta Gulden. Hingga harus meminta bantuan bala tentara Portugis untuk meredam perlawanan rakyat dan para santri.
Akhirnya pasukan Belanda berhasil membumi hanguskan Pesantren Buntet dan menangkap Pangeran Raja kanoman beserta para saudaranya. Untuk meredam perlawanan rakyat Belanda mengadili sang pangeran di Batavia kemudian membuangnya ke Ambon.
Tapi taktik Belanda tersebut tidak menyurutkan perlawanan rakyat. Berbeda dengan perlawanan rakyat di wilayah nusantara lainnya, yang menjadi api dalam sekam saat sang pemimpin perlawanan berhasil ditaklukan oleh siasat licik kolonial Belanda. Perlawan rakyat Cirebon justru semakin membara. Bukan saja protes rakyat hingga ke Batavia yang memusingkan Belanda, tapi pertempuran kecil yang terjadi serentak di hampir seluruh wilayah Cirebon, telah memusingkan Belanda, hingga pasukan mereka kocar kacir dan terpaksa menyingkir dari wilayah Cirebon.
Hingga pada akhirnya, Gubernur Berlanda untuk wilayah Jawa Tengah Bagian Utara, Nikolas Engelhard, memutuskan untuk mengambil jalan damai dan mengadakan perundingan pada tanggal 18 Agustus 1806,yang hasilnya memutuskan untuk mengembalikan Pangeran Raja Kanoman ke tahtanya. Hal ini baru terlaksana setahun berikutnya yaitu pada tahun 1807.
Tulisan Tangan Gubernur Daendels |
Sifat perlawanan Sang Pangeran tidak luntur begitu saja walaupun Belanda telah mengembalikan haknya sebagai sultan. Ia melarang rakyatnya mematuhi aturan tanam paksa belanda, hingga menyebabkan belanda merugi dan membuat Daendels geram. Hingga sang Gubernur Jendralpun mengeluarkan keputusan yang menjadikan sultan sebagai Ambtenaren Van Zijne Majesteit den Koning Van Holland ( pegawai Sri baginda Raja Holland ) dan pemerintah mengeluarkan Reglement 1809 yang mengatur pengelolaan daerah Cirebon.
Namun sang Pangeran tetap saja tidak mau menempatkan dirinya sebagai bawahan Belanda, beliau tetap memberontak terhadap aturan-aturan belanda. Akhirnya Belanda melakukan tindakan tegas dengan memecat Pangeran Raja Kanoman pada tanggal 2 Maret 1810.
Empat tahun kemudian (1814) Sultan Carbon Kacirebonan Amiril Mukminin Wafat dan kepemimpinan Sultan Carbon dilanjutkan oleh Permasuari Ratu Sultan Gusti Resminingpuri atas izin Belanda. Pada tahun 1815, sang Ratu meindahkan keratonnya dari Sunyaragi ke Pulasaren hingga saat ini. (ysg)
*) ditulis dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment